Marshel Widianto, “Partikel Popularitas dan Politik Uang”

Waktu pembaruan: 23 Juni 2024 05:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini merupakan tanggung jawab blogger dan tidak serta merta mewakili pandangan staf redaksi Kompas.

Popularitas dan elektabilitas (Foto: erhui1979/Getty Images)

Marshel Widianto, komedian berpandangan rasis terhadap negara yang terancam genosida dan percaya pada berita hoaks, tiba-tiba mendominasi tren perbincangan di media sosial. Tak hanya di IG atau Tiktok, berita tentang Marshel juga menjadi trending di Facebook dan X. Komedian lajang berambut keriting itu tiba-tiba menemukan ketenaran.

Marshall menjadi pembicaraan di kota. Kali ini bukan karena dia dengan jujur ​​​​mengakui perilakunya membeli video-video bagus, bukan juga karena dia absen dari syuting karena sakit saat syuting di tempat yang berbeda, tetapi karena dia dinominasikan sebagai kandidat untuk film tersebut. Wakil Wali Kota Tangsel maju pada Pilkada Serentak 2024.

Adakah partai politik yang begitu populer hingga kekurangan kader atau tokoh yang layak diusung? Ada pula Partai Gerindra yang lantang menyatakan akan memimpin Marshall. Partai bentukan Prabowo Subianto itu nampaknya kekurangan bahkan kehabisan kadernya untuk berminat mencalonkan Marshall.

Kalau dipikir-pikir, keengganan Partai Gerindra mencalonkan Marshall rupanya karena popularitas kartunis yang semasa kecilnya hidup dalam kemiskinan.

Opini publik memang menjadi pil paling mujarab bagi partai politik Indonesia. Banyak partai politik yang meninggalkan sistem pelatihan kadernya demi menggelar karpet merah bagi para selebriti di industri hiburan.

Popularitas inilah yang membuat para petinggi Gerindra tidak berpikir panjang. Bayangkan Tangsel berpenduduk 1,7 juta jiwa, namun elite partai melihat tak ada yang mampu menandingi wawasan luas Marshall.

Ingat, alasan lain mengapa harus Marshall adalah karena dia dianggap mempunyai hati yang besar. Pengurus Partai Gerindra mengatakan demikian.

Masyarakat Tangsel dikorbankan oleh partai politik

Hingga saat ini, politik elektoral di negara kita masih berpegang teguh pada popularitas dibandingkan kelayakan dan kemampuan. Orang yang tidak kompeten dan tidak kompeten akan dicalonkan selama ia memiliki modal publik. Untungnya, ada banyak uang yang memungkinkan partai-partai pendukung memenuhi alasan “kampanye berbiaya rendah” mereka.

Banyak di antara kita yang terbelalak melihat popularitas Komun yang berhasil menyingkirkan nama-nama besar dalam dunia politik di kalangan pemilih di Jawa Barat. Meski Comen tidak banyak berkampanye, ia tetap meraih jutaan suara dan menjadi senator. Namun popularitas Marshall tidak secemerlang Common. Mereka sangat berbeda.

Gerindra sebagai partai politik sudah seharusnya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Jika tidak bisa mendemonstrasikan cara mengembangkan kader, tunjukkan saja cara mencalonkan calon yang cocok.

Gerindra bisa saja merekomendasikan calon kepada publik atas dasar kepentingan pribadi atau kepentingan pribadi. menginginkan seorang kandidat ini atau Itu bodoh Yang penting adalah memenangkan keuntungan bagi partai. Jangan pedulikan kredibilitas kandidat atau apa kata orang.


Halaman selanjutnya

Tautan sumber