Ilustrasi. Medcom.id

JAKARTA: Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dinilai merupakan kemunduran luar biasa bagi keterwakilan perempuan. Pemicunya disebut-sebut adalah kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menegaskan keterwakilan calon anggota legislatif (caleg) perempuan minimal 30%. Wahidah Suaib, Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI periode 2008 hingga 2012 mengungkapkan, mantan pimpinan KPU sebenarnya berupaya memperkuat aturan KPU (PKPU) dalam mencapai keterwakilan caleg perempuan, yakni dengan memberikan sanksi politik. Para Pihak. Sayangnya, KPU saat ini belum melakukan hal tersebut. Wahida dalam diskusi di Jakarta, Senin, 1 Juli 2024 mengatakan, “Ini kemunduran yang luar biasa bagi keterwakilan perempuan. (Peraturan sebelumnya) sudah sangat kuat, tapi tiba-tiba menurun tajam.” KPU menerbitkan PKPU Nomor 10 tentang Pencalonan Tahun 2023. Pasal 8(2)a PKPU mengatur bahwa 30% dari jumlah calon perempuan di setiap daerah pemilihan akan dibulatkan ke bawah jika pecahannya kurang dari 50. Aktivis hak pilih dan perempuan menentang aturan tersebut karena berpotensi menurunkan keterwakilan calon legislatif perempuan. Mereka menggugat tindakan KPU melalui berbagai jalur antara lain Mahkamah Agung (MA), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Bawaslu. Mahkamah Agung mengabulkan uji materi Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 dan mengembalikan penghitungan bagian keterwakilan perempuan ke atas. Pada saat yang sama, DKPP menjatuhkan sanksi teguran berat kepada Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari, dan menjatuhkan sanksi teguran kepada enam anggota KPU RI lainnya. Sementara itu, Bawaslu menghukum KPU RI yang mengoreksi daftar 267 calon tetap (DCT) Pemilu 2024 Republik Indonesia karena daftar tersebut tidak memenuhi syarat keterwakilan 30% caleg perempuan. Meski begitu, KPU sama sekali tidak menindaklanjuti putusan MA maupun putusan Bawaslu tersebut. KPU juga digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait persoalan keterwakilan perempuan dalam perselisihan hasil pemilihan legislatif (PHPU) 2024. Penggugat adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menggugat daftar calon legislatif beberapa partai politik di daerah pemilihan DPRD 6 Gorontalo karena partai tersebut tidak memenuhi syarat keterwakilan perempuan. MK mengabulkan gugatan PKS dan memerintahkan KPU menggelar pemungutan suara ulang (PSU) di daerah pemilihan tersebut pada 13 Juli 2024. Waheeda mengatakan, jika gugatan serupa diajukan ke MK, PSU bisa terjadi di banyak tempat. “Saya kira ini skandal paripurna yang merugikan perempuan karena kepatuhan partai politik terhadap aturan keterwakilan perempuan semakin menurun, ditambah dengan kepatuhan KPU terhadap aturan tersebut,” jelas Wahida. Ketua Bawaslu Rahmat Bagja juga mengutarakan hal serupa arti dari. Bagi Baja, PSU skala besar bisa muncul jika peserta pemilu dari daerah yang keterwakilan caleg perempuan masih di bawah 30% membawa kasusnya ke Mahkamah Konstitusi. “Jika banyak perempuan yang mengajukan perkara ke Mahkamah Konstitusi, maka Indonesia akan memiliki jumlah perkara sektor publik terbesar dalam sejarah kita. Ini akan menjadi cerminan terbesar dalam sejarah pemilu kita,” kata Baja.

Jakarta: Pemilihan Umum (pemilihan) Tahun 2024 dianggap sebagai kemunduran luar biasa bagi keterwakilan perempuan. Pemicunya disebut-sebut karena adanya kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengukuhkan calon legislatif (caleg) perempuan dengan keterwakilan minimal 30%.

Pemilihan anggota Dewan Pengawas (Bavaslu) Wahidah Suaib Republik Indonesia periode 2008-2012 mengungkapkan, mantan pimpinan KPU sebenarnya berupaya memperkuat aturan KPU dalam mencapai keterwakilan calon legislatif perempuan (PKPU), yakni dengan memberikan sanksi kepada partai politik. Sayangnya, KPU saat ini belum melakukan hal tersebut.

Wahida mengatakan dalam diskusi di Jakarta, Senin, 1 Juli 2024: “Ini kemunduran yang luar biasa karena keterwakilan perempuan. (Peraturan sebelumnya) sudah sangat kuat, tapi tiba-tiba turun drastis.”
Pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024, KPU menerbitkan Dokumen PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Kualifikasi Calon. Pasal 8(2)a PKPU mengatur bahwa 30% dari jumlah calon perempuan di setiap daerah pemilihan akan dibulatkan ke bawah jika pecahannya kurang dari 50.

Aktivis hak pilih dan perempuan menentang aturan tersebut karena berpotensi menurunkan keterwakilan calon legislatif perempuan. Mereka menggugat tindakan KPU melalui berbagai jalur antara lain Mahkamah Agung (MA), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Bawaslu.

Mahkamah Agung mengabulkan uji materi Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 dan mengembalikan penghitungan bagian keterwakilan perempuan ke atas. Pada saat yang sama, DKPP menjatuhkan sanksi teguran berat kepada Hasyim Asy’ari, Ketua KPU RI, dan menjatuhkan sanksi teguran kepada enam anggota panitia KPU RI lainnya.

Sementara itu, Bawaslu menghukum KPU RI yang mengoreksi daftar 267 calon tetap (DCT) Pemilu RI 2024 karena daftar tersebut tidak memenuhi syarat keterwakilan 30% caleg perempuan. Meski begitu, KPU sama sekali tidak menindaklanjuti putusan MA maupun putusan Bawaslu tersebut.

Universitas Sains dan Teknologi Gugatan juga diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait persoalan keterwakilan perempuan dalam perselisihan hasil pemilihan legislatif (PHPU) 2024. Penggugat adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menggugat daftar calon legislatif beberapa partai politik di daerah pemilihan DPRD 6 Gorontalo karena partai tersebut tidak memenuhi syarat keterwakilan perempuan.

MK mengabulkan gugatan PKS dan memerintahkan KPU menggelar pemungutan suara ulang (PSU) di daerah pemilihan tersebut pada 13 Juli 2024. Waheeda mengatakan, jika gugatan serupa diajukan ke MK, PSU bisa terjadi di banyak tempat.

Wahida menjelaskan: “Saya kira ini skandal paripurna yang merugikan perempuan karena kepatuhan partai terhadap aturan keterwakilan perempuan menurun, ditambah dengan kepatuhan KPU terhadap aturan tersebut.”

Hal serupa juga diungkapkan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja. Bagi Baja, PSU skala besar bisa muncul jika peserta pemilu dari daerah yang keterwakilan caleg perempuan masih di bawah 30% membawa kasusnya ke Mahkamah Konstitusi.

“Jika banyak perempuan yang mengajukan kasusnya ke Mahkamah Konstitusi, Indonesia akan memiliki jumlah unit pengambilan sampel publik terbesar dalam sejarah kita. Ini akan menjadi cerminan terbesar dalam sejarah pemilu kita,” kata Baja.

Lihat berita dan artikel lainnya: berita Google

(AGA)

Tautan sumber